Bukan Aku Tak Punya
Bukan Aku Tak Punya
Oleh: Siti Nurlatifah
"Ayo ibu-ibu silahkan dilihat baju-bajunya?" ucap Bu Ririn yang sedang menjajakan bajunya di teras rumahku.
Seperti biasa setiap seminggu sekali Bu Ririn selalu datang ke rumah untuk menjajakan dagangannya. Walau aku tinggal beraktifitas seperti menyiram bunga, menyapu halaman, atau bahkan memasak, Bu Ririn tidak merasa sungkan. Mungkin karena teras rumahku yang luas sehingga bu Ririn merasa nyaman.
Dagangan Bu Ririn bermacam-macam, ada kemeja, gamis, celana, jilbab dan bahkan sandal pun ada. Mulai dari harga yang murah hingga yang mahal, mulai dari yang asli sampai KW. Membayarnya pun bisa cash maupun kredit, harganya sama saja. Tak heran jika ibu-ibu komplek merasa senang dengan dagangan Bu Ririn. Beliau juga ramah pada pembeli.
"Bu Retno ini loh ada gamis bagus, cocok kalau dipakai Bu Retno." ucap Bu Dewi sambil mengangkat gamis tersebut.
Aku yang sedang menyiram tanaman di halaman kaget dan menoleh Bu Dewi sambil tersenyum.
"Sini Bu, lihat dech cantik loh ...!"
Akhirnya aku menyudahi menyiram tanaman. Kucuci tangan dan kaki kemudian berjalan gabung dengan ibu-ibu.
"Berapa harganya bu?" tanyaku pura-pura ikutan nimbrung. Padahal aku adalah tipe orang yang kurang begitu senang belanja baju. Apalagi baju yang bermerk, sebab bagi aku pribadi harga baju yang terlalu mahal bisa memberatkan suami. Daripada hanya untuk membeli baju, mending beli beras dan kebutuhan dapur.
"Kalau yang merk ini harganya Rp. 350.000,00 Bu, kalau yang yang merek itu harganya Rp. 150.000,00," jawab Bu Ririn.
"Ayo Bu bagus loh, kalau gak mau buat saya nih gamisnya. Buat lebaran." ucap Bu Dewi.
"Monggo Bu, saya pengen nyari buat anak-anak saja, ibunya mengalah dulu," jawabku sambil tersenyum.
"Ada Bu Retno, ukuran buat Zahira dan Reyhan? Ngomong-ngomong kok sepi Bu, anak-anak kemana?" ucap Bu Ririn sambil menunjukan baju buat anak-anak.
"Anak-anak sedang jalan-jalan sama bapaknya bu, biasa ngabuburit. Berapa ini Bu?"
"Harganya yang buat Zahira Rp. 120.000,00 sedangkan untuk Reyhan itu harganya Rp. 90.000,00."
"Buat bapaknya Bu?"
"Bapaknya sudah beli kemarin Bu." Jawabku singkat supaya tidak terlalu lama berdebat dengan Bu Dewi. Akupun segera kedalam mengambil uang.
Samar-samar terdengar dari kamar, percakapan Bu Dewi dan Bu Ririn.
"Ya udah Bu Ririn, gamis yang Rp. 350.000,00 ini saya ambil ya? Jadi berapa nih hutang saya sama baju anak saya?" tanya Bu Dewi.
" Baju anak ibu kan harganya Rp. 150.000,00 ditambah gamis ibu Rp.350.000,00 jadi semuanya Rp.500.000,00 ya Bu?" jawab Bu Ririn.
"Siap Bu, tenang saja bentar lagi saya mau telpon kakak saya. Supaya dapat THR dari kakak. Lumayankan bisa buat beli baju," ucap Bu Dewi sambil terkekeh.
Setelah aku keluar dan menyodorkan uang itu, Bu Dewi berpamitan pulang begitu juga Bu Ririn mengemasi dagangannya.
"Terimakasih ya Bu Retno atas tempatnya, saya pamit dulu sudah sore."
"Sama-sama Bu."
Setelah beberapa menit kemudian, Mas Hasan dan anak-anak datang.
"Ibu, kami bawa kolek pisang."
"Ya sudah bawa masuk, terimakasih ya?" ucapku.
Anak-anak langsung masuk ke dalam, sementara aku dan Mas Hasan masih ngobrol di teras.
"Mas, tadi aku belikan anak-anak baju buat lebaran di Bu Ririn. Pakai uang yang Mas Hasan berikan kemarin. Masih sisa Rp.290.000,00."
"Kok masih banyak sisanya? Kamu gak sekalian beli?"
"Tidak Mas, sayang kalau buat beli baju semua. Mending buat bikin kue lebaran. Seragam baju dari kakak waktu nikahin anaknya kan masih bagus Mas, baru satu bulan ini."
"Ohiya ya, benar kamu Dik," ucap Mas Hasan sambil mencubit hidungku.
"Mas bersyukur punya istri kamu. Kamu istri yang hebat, pandai mengatur keuangan. Pantang meminta. Ayo masuk sudah mau magrib. Anak-anak pasti sudah di depan meja makan menunggu berbuka."
Subang, 19 Juni 2020
Fb: latifah zaeni
Siipp bgt
BalasHapusMantul Bu cerpennya...
BalasHapusSo sweet ...😍🙏🏻👍
BalasHapusIstri sholehah👍👍
BalasHapusEnak dibaca bu
BalasHapusSiip lanjutkan menulis
BalasHapusAsyik. Keren.
BalasHapusSaran: Ilustrasi gambarnya kurang sesuai, hihi.
mantap Bu cerpennya
BalasHapusCieee cieee ... Mantul Bu 👍🏻
BalasHapusTrue Story kayanya
BalasHapus